Hidup Di Era 24/7

Hidup Di Era 24/7: Ketika Internet Tak Pernah Tidur

Hidup Di Era 24/7: Ketika Internet Tak Pernah Tidur

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print

Hidup Di Era 24/7

Hidup Di Era 24/7, di mana siang dan malam kehilangan maknanya, dan waktu tak lagi memberi batas antara pekerjaan, hiburan, dan kehidupan pribadi. Era 24/7—dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu—digerakkan oleh satu kekuatan besar yang terus menyala tanpa henti: internet.

Dulu, malam adalah waktu untuk beristirahat. Ketika toko tutup, televisi berhenti siaran, dan jalanan perlahan sunyi. Tapi sekarang, malam hanyalah variasi lain dari siang. Pekerjaan tetap datang lewat notifikasi, percakapan tetap berlanjut lewat pesan instan, dan dunia tetap bergerak dengan ritmenya yang tidak mengenal kantuk. Tak peduli pukul berapa sekarang, seseorang di belahan dunia lain sedang aktif, membuat konten, mengunggah ide, mengirim email, atau sekadar membagikan potongan kehidupannya.

Internet tidak pernah tidur, dan dalam diam-diam, kita pun ikut terjaga bersamanya. Kita terhubung sepanjang waktu, seakan-akan kehilangan sinyal berarti kehilangan arah Kita membuka ponsel bahkan sebelum membuka jendela kamar. Kita mengecek notifikasi sebelum menyadari mata kita belum sepenuhnya terbuka. Ketergantungan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal bagaimana internet telah mengubah cara kita hidup, berpikir, bekerja, dan merasa.

Semua hal kini bisa dilakukan kapan saja. Bekerja dari mana pun, belanja tengah malam, belajar pukul tiga pagi, menonton serial tanpa henti. Waktu menjadi lentur, dan produktivitas terasa seperti lomba tanpa garis akhir. Kita sering merasa harus terus aktif, terus “on”, terus mengikuti aliran informasi yang tak ada habisnya. Jika berhenti sejenak, kita khawatir akan tertinggal—oleh tren, oleh berita, bahkan oleh kehidupan orang lain yang terlihat terus berjalan di linimasa sosial media.

Hidup Di Era 24/7 menuntut kita belajar hal baru: seni untuk melepaskan, walau sebentar. Melepaskan gawai sebelum tidur, membiarkan pesan tak dibalas seketika, memberi ruang bagi otak dan hati untuk beristirahat. Kita perlu waktu yang “mati” agar hidup bisa kembali bernapas. Karena tak semua harus dijawab saat itu juga.

Hidup Di Era 24/7: Nyaman, Tapi Diam Diam Menguras

Hidup Di Era 24/7: Nyaman, Tapi Diam Diam Menguras. Di dunia hari ini, segalanya tersedia dalam sekejap. Sekali sentuh, makanan datang ke depan pintu. Sekali klik, hiburan membanjiri layar. Belanja bisa dilakukan pukul dua dini hari, dan pekerjaan bisa masuk bahkan di hari libur. Kita hidup dalam kenyamanan yang dulu hanya bisa dibayangkan—kehidupan 24 jam yang seolah-olah menjanjikan kemudahan mutlak. Tak perlu antre, tak perlu menunggu, tak perlu menyesuaikan waktu dengan toko atau layanan publik. Dunia terasa berada di ujung jari.

Dan memang, dari satu sisi, itu adalah keajaiban zaman. Kita bisa bekerja dari rumah, mengakses informasi apa pun kapan saja, bahkan membangun bisnis tanpa harus keluar rumah. Kita tidak lagi terikat oleh jam operasional. Tidak perlu menunggu hari Senin untuk menyelesaikan urusan administrasi. Tidak harus menunggu pagi untuk mengobrol dengan teman di belahan dunia lain. Kehidupan 24 jam memberi ilusi bahwa waktu selalu cukup—bahwa semuanya bisa di lakukan jika kita cukup gesit mengatur ritme.

Namun di balik itu, ada sesuatu yang perlahan terkikis, sesuatu yang tidak langsung terasa. Diam-diam, kehidupan tanpa jeda ini menguras kita—secara fisik, mental, dan emosional. Ketika semuanya bisa di lakukan kapan saja, kita pun merasa harus siap setiap saat. Bekerja lebih lama karena tidak ada batas jam kantor yang jelas. Membalas pesan kerja bahkan di atas tempat tidur. Merasa bersalah saat tidak produktif, padahal tubuh sedang butuh istirahat.

Kita hidup dalam tekanan halus yang sulit di kenali: tekanan untuk selalu responsif, untuk selalu aktif, untuk selalu “terhubung.” Dan ironisnya, semakin banyak hal yang bisa di lakukan, semakin kita merasa kehabisan waktu. Semakin banyak pilihan, semakin kita merasa tak cukup. Hari tak lagi terasa memiliki pagi, siang, dan malam. Semua waktu bercampur, menjadi satu garis yang tak berhenti.

Online Terus, Tapi Kapan Kita Benar-Benar Istirahat?

Online Terus, Tapi Kapan Kita Benar-Benar Istirahat?. Di tengah dunia yang terhubung tanpa henti, kita hidup dalam ilusi bahwa selalu aktif berarti selalu hadir. Kita bangun dengan notifikasi, tidur dengan layar menyala di samping kepala, dan bahkan saat makan pun, satu tangan tetap menggenggam ponsel. Ada perasaan aneh yang muncul jika tidak membuka aplikasi selama beberapa jam—seolah ada yang tertinggal, ada yang kurang, atau ada dunia yang terus berjalan tanpa kita. Kita online terus. Tapi kapan terakhir kali kita benar-benar istirahat?

Istirahat di era digital bukan lagi soal tidur semalam penuh atau duduk tenang tanpa gangguan. Istirahat kini menjadi sesuatu yang harus di rencanakan, di lindungi, bahkan di perjuangkan. Karena sekalipun tubuh kita rebah di kasur, pikiran kita tetap sibuk—melompat-lompat antara pesan belum di balas, pekerjaan yang terus menghantui, atau rasa bersalah karena belum posting konten baru hari ini.

Ada tekanan yang tak kasat mata, tapi begitu nyata: tekanan untuk hadir, untuk menjawab cepat, untuk terlihat aktif. Kita terbiasa mengukur nilai diri dari jumlah pesan yang di balas, story yang di lihat, atau pekerjaan yang di selesaikan di luar jam kerja. Padahal, diam-diam kita sedang melelahkan diri sendiri. Kita terus online, tapi semakin jauh dari diri sendiri.

Banyak dari kita bahkan mulai lupa seperti apa rasanya benar-benar tidak terganggu. Tidak terpotong notifikasi, tidak merasa harus segera merespons. Tidak merasa bersalah karena memilih diam. Padahal, tubuh dan pikiran kita tidak di ciptakan untuk terus aktif. Ada irama alami dalam hidup yang mengajarkan kapan harus bergerak, kapan harus berhenti. Kita butuh waktu tanpa layar, tanpa suara digital, tanpa tuntutan untuk terus “ada”.

Ironisnya, teknologi yang awalnya di ciptakan untuk memudahkan kita, perlahan mencuri waktu-waktu berharga yang dulu terasa sederhana tapi bermakna: waktu untuk duduk dalam diam, untuk membaca tanpa tergesa, untuk berbicara tatap muka tanpa gangguan layar ketiga.

Digital Overload: Kita Tersambung, Tapi Tidak Pernah Tenang

Digital Overload: Kita Tersambung, Tapi Tidak Pernah Tenang. Dunia hari ini selalu menyala. Kita hidup dalam aliran informasi yang tiada henti, terhubung ke mana-mana, setiap waktu, setiap detik. Ada pesan yang masuk, notifikasi yang berbunyi, video yang memutar otomatis, dan berita yang datang silih berganti. Kita ada di dalam pusaran konektivitas konstan, dan dalam hiruk pikuk digital itu, kita merasa harus selalu hadir—kalau tidak, kita takut tertinggal.

Kita menyebutnya kemajuan. Kemampuan untuk menjangkau siapa pun, kapan pun. Akses ke pengetahuan tak terbatas. Ruang bagi ide, suara, dan ekspresi. Tapi perlahan, tanpa kita sadari, semua koneksi itu datang dengan satu konsekuensi: kelelahan. Bukan kelelahan tubuh semata, melainkan kelelahan jiwa yang tak tahu caranya berhenti.

Digital overload bukan hanya tentang banyaknya hal yang kita konsumsi, tetapi tentang terus-menerus berada dalam mode siaga. Kita membuka ponsel hanya untuk mengecek waktu, tapi entah bagaimana berakhir 20 menit menelusuri linimasa, kita menonton video untuk hiburan. Tapi akhirnya merasa kosong, kita mengikuti ratusan akun demi “update”, tapi semakin sering merasa tidak cukup, tidak aman, tidak tenang.

Kita tersambung ke semua hal, tapi justru terputus dari diri sendiri. Pikiran jarang sunyi. Hati jarang hening. Kita kehilangan ruang untuk benar-benar mendengarkan suara di dalam kepala, karena dunia luar tak pernah berhenti berbicara. Dan ironisnya, meskipun kita begitu “dekat” dengan semua orang secara digital, sering kali kita merasa kesepian dalam diam yang teralihkan.

Kita mengira multitasking membuat kita produktif. Tapi yang sebenarnya terjadi, kita hanya memecah fokus hingga tak satu pun benar-benar selesai. Kita merasa harus tahu semua hal yang sedang terjadi, padahal justru kehilangan kedalaman untuk memahami satu hal secara utuh. Kita terus scroll, berharap menemukan sesuatu yang membuat kita merasa lebih baik, tapi semakin jauh kita menggulir, semakin samar perasaan tenang itu karena begitulah Hidup Di Era 24/7.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait